Tidak ada kamera yang mengabadikan peristiwa penting terawal dalam hidupku ini karena ayah memilih merelakan satu-satunya kamera yang dia punya dipinjam seorang teman kantornya untuk merekam hajatan keluarganya. Satu-satunya foto adalah yang tertera di Surat Lahir-ku. Selain itu hanyalah cerita orang tuaku tentang: proses kelahiran dan pemberian namaku, Dea Prajna Paramita, di bawah ini.
|
Surat Lahir Dea Prajna Paramita |
Proses Kelahiran
Dalam sebuah kamar bedah di lantai teratas Rumah Sakit Baptis Kota Batu, diriku dilahirkan dengan pertolongan tim dokter pada pukul 14.00 WIB, 20 September 2011. Jadi, hari ini umurku kira-kira 1 tahun 5 bulan menurut perhitungan matahari. (Tentu saja yang menulis ini bukanlah diriku, tetapi orang tuaku. Tidak apa. Untuk sementara biarlah mereka mewakiliku mengabadikan sejarah hidupku yang belum bisa kutulis sendiri ini.)
Malam itu, 19 September 2011 sekitar pukul 21.00 WIB, Ibu yang tengah hamil terjaga dari tidurnya. Dirasanya ada yang membasahi tempat tidurnya. Darah keluar, beliau buru-buru bangunkan Ayah. Mereka bergegas berdua ke rumah sakit tersebut. Di pos jaga perumahan, nampak beberapa warga yang giliran ronda melihat Ayah dan Ibu keluar berboncengan sepeda motor. Nampaknya mereka paham Ibuku segera akan melahirkan.
Di UGD rumah sakit hanya ada beberapa petugas jaga, termasuk seorang perawat yang memeriksa kandungan Ibuku. Setelah berkonsultasi dengan dokter lewat telepon, beliau menyatakan jika menghendaki malam itu tidak mengapa orang tuaku pulang, karena belum lagi ada dokter yang bisa menangani malam itu. Lagi pula rumah kami di Junrejo termasuk dekat dengan rumah sakit tersebut yang apabila ada masalah, kami bisa langsung segera ke rumah sakit. Orang tuaku pun pulang.
Paginya, 20 September 2011 sekitar pukul 03.00 WIB, Ibu-ku kembali kuyup. Kali ini rupanya habis keluar sudah air ketubannya. Namun pecah ketuban bukanlah berarti akan langsung melahirkan, kata Ibu. Oleh karena itu, Ibu meminta Ayah membuat mie instan untuk pengganjal perut berdua. Kedua orang tuaku segera kembali ke rumah sakit bakda Subuh, berpapasan dengan beberapa tetangga yang baru pulang shalat di masjid. Seperti semalam, kami juga langsung menuju UGD yang masih juga sepi. Di situlah Ibu dan Ayah mulai menunggu dan menunggu kelahiranku di sebuah ruang rawat darurat. Seorang perawat menancapkan infus pada lengan kiri Ibu.
Memang sudah sembilan bulan aku berada di dalam perutnya. Tiap malam kata Ibu aku suka menendang-nendang dinding perutnya. Namun, Ibu merasa belumlah kuat desakanku untuk lahir.
Saat hari mulai terang, Ibu dibawa ke kamar kelas 2, seruang empat pasien. Tapi oleh perawat diperiksa kembali, kemudian beliau menyatakan pemakai ASKES seperti orang tuaku mendapat jatah kelas 1, satu ruangan berisi dua pasien. Ayah Ibu pun pindah ke sana, seruangan bersama pasien anak dua tahunan penderita sumbing yang membuat langit-langit mulutnya berlubang hingga harus dioperasi dan oleh sebab itu menangis terus.
Tengah hari, masih segan juga diriku untuk muncul, sampai akhirnya orang tuaku memutuskan minta di-drip, ditetesi infus perangsang kontraksi otot dengan harapan membantu mendorongku keluar. Obat dari infus mulai mengalir ke urat darah dan mulailah siksaan yang harus dialami oleh seorang ibu. Pada mulanya hanya keringat yang keluar, lama-kelamaan darah mulai merembes dari rahimnya. Sungguh sakit tak tertahankan, kata Ibu. Ayah masih setia menemani di samping pembaringannya.
Walau suster bilang tinggal setengah jalan lagi untuk terbuka agar bisa mendorongku keluar, rasanya Ibu tidak kuat menjalaninya. Tanpa jalan yang setengah lagi, Ibu dilarang mengejan karena bisa berakibat fatal. Bisa ambeien, kata medis. Ibu lemas tak bertenaga. Ketuban sudah habis sejak dini hari. Rasanya hampir pingsan, kata beliau. Kini kedua orang tuaku memutuskan dioperasi sesar, suster bilang SC.
Ibu makan siang terlebih dahulu untuk mengumpulkan tenaga menghadapi operasi besar ini. Kira-kira pukul 13.00, Ibu dibawa dengan kereta dorong masuk lift menuju ruang isolasi, ruang yang terletak di lantai teratas R.S. Baptis yang dari situ, kata Ibu, pucuk-pucuk cemara tertinggi di luar pun tidak nampak. Ayahku diizinkan sebatas depan pintu keluar lift. Di ruang tersebut, Ibu menunggu lengkapnya tim dokter yang terdiri dari para spesialis: anastesia, bedah, kandungan, dan perawat (seingat Ibu). Mereka masih berada di unit atau tempat lain sesuai tugas dan dinas masing-masing. Setelah menunggu 30 menit, tim lengkap berkumpul dan Ibu dibawa ke ruang observasi untuk persiapan operasi. Setengah jam selanjutnya, Ibu digiring ke ruang bedah dan mulailah tim bekerja menyobek perut mengeluarkanku.
|
Dea mandi |
Aku menangis diangkat dokter, keluar dengan selamat. Ibu berdarah-lendir tapi selamat. Saat terdengar suara tangisku, Ibu tak menduga itu adalah aku. Baru setelah perawat memperlihatkan diriku, Ibu baru menyadari. Tak ada reaksi berlebihan dari Ibu waktu itu karena singkatnya operasi dengan bius tanpa rasa itu. Dia hanya ingat telingaku hitam-merah.
Aku dibawa keluar dengan sebuah kereta mungil. Bugil beralaskan kain yang masih nampak bernoda darah dan sisa lendir, aku dipertemukan dengan ayahku sebelum menuju ruang bayi. Oleh suster, Ayah dianjurkan mengadzani jika muslim. Ayahku sangat terharu. Pada saat itulah Ayahku saat itu menyadari, cerita yang menakutkan muslim tentang anggota keluarga yang mengalami ajal di rumah sakit Kristen akan dituntun secara nasrani tidak terjadi padanya. Saat ini yang terjadi adalah rasa manusiawi. Ayah membisikkan adzan ke telingaku. Dia menangis, tertekan rasa tak menentu menunggu istri dan anak pertamanya yang bertarung dengan luka. Aku malah diam saja mendengarkan, kata Ayah sendiri. Kata beliau juga, kulit telingaku merah tua kehitaman dan kulitku pun kemerah-merahan tua.